Kitab Hukum Kanonik no. 919 menyatakan, “Yang hendak sambut Ekaristi mahakudus hendaknya berpantang dari segala macam makanan dan minuman selama waktu sekurang-kurangnya satu jam, terkecuali air semata-mata dan obat-obatan.” Sesungguhnya, peraturan ini merupakan refleksi dari tradisi kuno dalam Gereja kita, yang bahkan berasal dari tradisi Yahudi. Dalam Kisah
Tentu saja, ketentuan-ketentuan puasa mengalami perubahan dan perkembangan seiring berjalannya waktu. Sebelum tahun 1964, puasa untuk menyambut Komuni Kudus dimulai tengah malam. Paus Paulus VI, pada tanggal 21 November 1964, mengurangi tenggang waktu puasa hingga satu jam saja.
Dalam peraturan ini terdapat dua pengecualian: Pertama, jika seorang imam merayakan lebih dari satu Misa pada hari yang sama, seperti yang biasa terjadi pada hari Minggu, imam hanya terikat satu jam puasa sebelum Misa yang pertama. Imam diperbolehkan makan dan minum sesuatu untuk menjaga staminanya di antara Misa yang akan dipersembahkannya, meskipun tidak penuh satu jam puasa sebelum ia menyambut Komuni Kudus berikutnya.
Kedua, mereka yang lanjut usia (usia 60 tahun ke atas) atau sakit, maupun mereka yang merawatnya, dapat menyambut Komuni Kudus meskipun dalam waktu satu jam sebelumnya telah makan sesuatu. Misalnya, mereka yang di rumah sakit dan tidak dapat mengatur jadwal mereka sendiri dan sedang makan atau baru saja selesai makan ketika dikunjungi oleh imam atau pelayan komuni kudus. Oleh sebab itu, jangka waktu puasa sebelum menyambut Komuni Kudus dikurangi hingga “kurang lebih seperempat jam” bagi mereka yang sakit di rumah atau pun di rumah sakit, mereka yang lanjut usia yang dirawat di rumah atau pun di panti werdha, dan mereka yang merawat orang-orang tersebut dan tak mungkin sempat memperhatikan waktu puasa mereka sendiri (“Immensae Caritatis,” 1973).
Inti dari pertanyaan di atas adalah mengapa kita wajib berpuasa? St. Paulus mengingatkan kita, “Kami senantiasa membawa kematian Yesus di dalam tubuh kami, supaya kehidupan Yesus juga menjadi nyata di dalam tubuh kami.” (II Kor 4:10). Kita pun wajib mengubah seluruh hidup kita - tubuh dan jiwa - serupa dengan Kristus. Proses mengubah diri ini menyangkut matiraga - termasuk matiraga jasmani seperti berpuasa - demi dihapusnya dosa-dosa dan kelemahan-kelemahan kita; dengan demikian matiraga tersebut akan memperkuat serta menyembuhkan kita. Paus Paulus VI dalam konstitusi apostoliknya “Paenitemini” (1966) mendorong umat beriman dengan mengatakan, “Matiraga bertujuan untuk `memerdekakan' manusia, yang seringkali mendapati dirinya, karena kecenderungannya akan dosa, hampir terbelenggu oleh nafsu-nafsunya sendiri. Melalui `matiraga jasmani' manusia memperoleh kembali kekuatannya dan luka-luka yang timbul akibat sifat dasar manusia karena kurangnya penguasaan diri disembuhkan oleh obat pantang yang bermanfaat.”
Lagipula, berpuasa sebelum menyambut Komuni Kudus membangkitkan rasa lapar dan haus jasmani akan Kristus, yang akan semakin membangkitkan rasa lapar dan haus rohani yang sepantasnya kita miliki. Dalam Perjanjian Lama, puasa mempersiapkan orang untuk menerima kehadiran Allah dan berada di hadirat-Nya. Sebagai contoh, Musa (Kel 34:28) berpuasa empat puluh hari empat puluh malam lamanya di atas gunung Sinai sementara ia menuliskan Kesepuluh Perintah Allah. Elia (I Raj 19:8) berpuasa empat puluh hari empat puluh malam lamanya sementara ia berjalan ke gunung Allah, yakni gunung Horeb. Yesus Sendiri berpuasa empat puluh hari empat puluh malam lamanya sementara Ia mempersiapkan Diri memulai pewartaan-Nya di hadapan orang banyak (Mat 4:1 dst). Yesus juga menganjurkan kita untuk berpuasa (Mat 6:16-18).
Demikianlah usaha jasmani ini memurnikan kehendak baik rohani yang kita butuhkan dalam menyambut Kristus dalam Sakramen Ekaristi. Kita berpuasa untuk tidak “merusakkan selera kita” melainkan meningkatkannya sementara kita ikut ambil bagian dalam perjamuan paskah. Dalam sabda bahagia Yesus bersabda, “Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan” (Mat 5:6). Pada akhirnya, berpuasa merupakan latihan kerendahan hati, pengharapan dan kasih - kebajikan-kebajikan pokok yang kita butuhkan dalam mempersiapkan diri menyambut Ekaristi Kudus.
Namun demikian, peraturan ini tidak berarti bahwa kita harus berhati-hati secara berlebihan dan menghitung-hitung setiap detik. Saya teringat ketika sedang merayakan Misa bersama seorang imam yang baru saja makan setengah jam sebelum perayaan Misa. Ia sangat khawatir bahwa ia tidak akan dapat memenuhi satu jam masa puasa sebelum menyambut Komuni Kudus. Ia menyetel jamnya untuk waktu satu jam, melambungkan doa-doa, dan tetap berdiri di altar sementara saya membagikan Komuni Kudus kepada umat seluruhnya hingga selesai, dan ia menanti menit-menit berlalu. Kita tidak hendak bersikap teledor dan sembrono, tetapi kita juga tidak hendak bersikap hati-hati secara berlebihan. Jika masih ragu-ragu, coba pikirkan akan kebajikan menyambut Komuni Kudus yang melampaui nilai “satu jam waktu puasa”.
Jangan teledor dan sembrono. Paus Yohanes Paulus II dalam “Dominicae Cenae” (1980) menyesali timbulnya masalah karena sebagian orang tidak mempersiapkan diri secara pantas untuk menyambut Komuni Kudus, bahkan dalam keadaan dosa berat. Bapa Suci mengatakan, “Sesungguhnya, yang seringkali didapati ialah sangat kurangnya perasaan tidak layak diri sebagai akibat dari kurangnya hasrat hati, jika dapat dikatakan, kurangnya rasa `lapar' dan `haus' akan ekaristi, yang juga merupakan tanda akan kurangnya kepekaan yang pantas terhadap sakramen kasih yang luar biasa ini dan kurangnya pemahaman tentangnya.” Wajiblah kita mengusahakan persiapan iman sebaik-baiknya dalam mempersiapkan diri menyambut Kristus secara pantas.
Oleh sebab itu, berpuasa sebelum menyambut Ekaristi membantu kita dalam mempersiapkan diri menyambut Komuni Kudus secara keseluruhan - tubuh dan jiwa. Matiraga jasmani ini memperkuat fokus rohani kita kepada Kristus, sehingga kita dapat dengan rendah hati bersatu dengan Juruselamat ilahi yang menawarkan Diri-Nya Sendiri bagi kita.
No comments:
Post a Comment